Kependudukan

  • Register

Kampung-kampung di sekitar areal IUPHHK PT. Kemakmuran Berkah Timber seluruhnya termasuk dalam wilayah Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Kutai Barat. Jumlah penduduk di seluruh kampung di Kecamatan Long Pahangai pada tahun 2010 tercatat sebanyak 4.753 jiwa (Kecamatan Long Pahangai Dalam Angka, 2010). Sementara itu jumlah penduduk di kampung-kampung sekitar areal IUPHHK PT. Kemakmuran Berkah Timber (sepuluh kampung) tercatat sebanyak 3.389 jiwa yang terdiri dari 947 KK. Jumlah penduduk pada tiap kampung yang berada sekitar areal IUPHHK disajikan pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Jumlah Penduduk di Sekitar Areal IUPHHK PT. Kemakmuran Berkah Timber

No Kecamatan/Kampung  
Jumlah Penduduk (Jiwa)

Sex Ratio       

Jumlah KK
Laki-laki Perempuan Jumlah
Kec. Long Pahangai
1. Liu Mulang 80 79 159 101 47
2. Long Tuyoq 247 256 503 96 134
3. Long Pahangai I 400 368 768 109 232
4. Long Pahangai II 114 98 212 116 64
5. Long Isun 209 171 380 122 103
6. Naha Aruq 114 105 219 109 53
7. Lirung Ubing 100 84 184 119 50
8. Datah Naha 128 91 219 141 59
9. Long Lunuk 182 149 331 122 101
10. Long Lunuk Baru 219 195 414 112 104
Jumlah 1.793 1.596 3.389 112 947

                      Sumber : Data Kependudukan Tiap Kampung, 2011

 

Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa jumlah penduduk yang paling banyak terdapat di Kampung Long Pahangai I, yaitu sebanyak 768 jiwa atau 232 KK dan paling sedikit di Kampung Liu Mulang, yaitu sebanyak 159 jiwa atau 47 KK. Selain Liu Mulang, terdapat beberapa kampung yang jumlah penduduknya hanya sekitar 50 KK, yakni Long Pahangai II (62 KK), Naha Aruq (53 KK), Lirung Ubing (50 KK) dan Datah Naha (59 KK).

Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan, yakni masing-masing 1.793 jiwa dan 1.596 jiwa dengan rasio jenis kelamin 112. Komposisi menurut jenis kelamin tersebut masih tergolong seimbang, yakni pada kisaran 90 - 115, akan tetapi pada beberapa kampung memperlihatkan komposisi jenis kelamin yang tidak seimbang, seperti di Datah Naha dan Long Lunuk.

Dengan membandingkan jumlah penduduk Kecamatan Long Pahangai pada tahun 2010 dengan tahun 1990 yang berjumlah 6.036 jiwa, maka dapat diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan penduduk di Kecamatan Long Pahangai dalam dua puluh tahun terakhir adalah 1,75 %  per  tahun.

Mayoritas penduduk desa di sekitar areal IUPHHK PT. Kemakmuran Berkah Timber menganut agama Katholik, yakni meliputi sekitar 92,8 %, dan selebihnya Islam 6,8 %, dan Kristen 0,4 %. Pada hampir seluruh kampung, proporsi penganut Katholik meliputi lebih dari 95 %, kecuali di Long Pahangai II yang mayoritas penduduk menganut Islam.

Struktur penduduk berdasar agama tersebut erat kaitannya dengan sejarah kampung di daerah ini, dimana pada tahun 1920-an telah terdapat misionaris Katholik yang menyebarkan agama ke daerah ini. Pada masa itu penduduk di daerah ini masih menganut kepercayaan kepada roh  nenek moyang atau benda-benda tertentu. Selain menyebarkan agama, para misionaris juga merintis pendidikan umum dengan mendirikan sekolah, yakni sekolah rakyat (setara SD), di antaranya sekolah rakyat di Long Pahangai, Long Tuyoq, dan Long Isun.

Sementara itu masuknya agama Islam ke daerah ini pada awalnya dibawa oleh penduduk asli etnis Dayak, terutama orang Bakumpai, dari daerah hulu Sungai Barito dan anak-anak sungainya di Kalimantan Tengah yang bermigrasi ke daerah hulu Mahakam sekitar tahun 1930-an. Saat ini komunitas penduduk asli beragama Islam yang cukup banyak antara lain terdapat di Long Pahangai II dan Delang Kerohong (di sebelah hulu Long Lunuk). Dalam perkembangan selanjutnya jumlah penduduk muslim bertambah dengan masuknya pendatang dari Jawa, Bugis, Kutai, Banjar, dan lain-lain serta adanya penduduk asli yang masuk Islam.

Pada masing-masing kampung telah terdapat tempat ibadah berupa gereja, kecuali di kompleks Datah Suling, yakni kompleks empat kampung resettlement yang terdiri dari Long Isun, Naha Aruq, Lirung Ubing, dan Datah Naha, terdapat satu gereja besar yang digunakan bersama untuk empat kampung. Masjid terdapat di Long Pahangai II dan Long Lunuk Baru. Sejarah singkat masing-masing kampung yang berada di sekitar areal IUPHHK PT. Kemakmuran Berkah Timber disajikan dalam uraian berikut. 

Kampung Liu Mulang

Liu_Mulang

Gambar 1. Lamin Adat Kampung Liu Mulang

Sebelum menetap di kampung ini, nenek moyang masyarakat Liu Mulang mengalami beberapa kali perpindahan tempat pemukiman. Sejauh yang diketahui masyarakat, nenek moyang mereka dahulu berasal dari daerah di Muara Danum Musan, kemudian pindah ke Sungai Bayoh, dan karena terjadi kebakaran besar di Sungai Bayoh, maka penduduk pindah menuju dua lokasi, yaitu daerah Datah Naha dan Datah Betung,dan kemudian antara tahun 1962 - 1964 pindah ke lokasi yang sekarang.

Menurut petinggi Long Tuyoq, wilayah Liu Mulang merupakan hibah dari masyarakat Long Tuyoq, tidak  hanya terbatas pada areal pemukiman saja, namun juga lahan 

untuk berladang. Lahan/lokasi ladang yang diberikan tersebut berada di Danum (sungai) Musan dan Danum Pare. Masyarakat Liu Mulang diperbolehkan menggarap ladang di luar kedua lokasi tersebut di atas, dengan syarat tidak boleh menanam tanaman keras. Secara kekerabatan penduduk Liu Mulang memiliki hubungan kerabat dengan penduduk Long Tuyoq, Datah Naha, Long Kuling, Meraseh dan Loh Buah di Samarinda.

Pada tahun 2001, masyarakat Liu Mulang melakukan unjuk rasa ke PT. Kemakmuran Berkah Timber, menuntut pembayaran dana kompensasi dan lain-lain atas hasil hutan kayu yang mereka anggap berasal dari wilayah adat atau kampung mereka. Unjuk rasa masyarakat Liu Mulang ini terjadi setelah unjuk rasa masyarakat Kampung Long Tuyoq. Setelah dilakukan negosiasi dengan perusahaan, akhirnya diperoleh kesepakatan mengenai pemberian dana kompensasi dan kegiatan sosial oleh perusahaan di kampung mereka.

 

Kampung Long Tuyoq

Long Tuyoq merupakan salah satu kampung tua di daerah hulu riam Sungai Mahakam (di atas Riam Panjang). Menurut penuturan para tetua adat di Long Tuyoq, pada awal abad 19 nenek moyang masyarakat Long Tuyoq bermukim di Long Tepai. Pada masa itu masyarakat masih berpakaian kulit kayu atau kulit binatang dan masih berkembang tradisi mengayau atau memenggal kepala manusia sebagai simbol keperkasaan seorang laki-laki. Pada tahun 1863 masyarakat pindah dari Long Tepai ke Long Tuyoq, lalu pada tahun 1890 pindah kembali ke Long Tepai dan pada tahun 1904 dari Long Tepai pindah kembali ke Long Tuyoq.

Pada tahun 1940-an misionaris masuk ke kampung ini untuk menyebarkan agama Katholik kepada masyarakat yang waktu itu masih menganut kepercayaan animisme. Selain itu, pada tahun 1942 misionaris Katholik merintis pendirian sekolah rakyat di kampung. Di kemudian hari sekolah rakyat ini ditingkatkan menjadi sekolah dasar negeri yang melayani kegiatan pendidikan untuk dua kampung, yakni Long Tuyoq dan Liu Mulang.

Pada tahun 2000, terjadi konflik batas kampung antara masyarakat LongTuyoq dengan Batoq Kelo. Konflik batas kampung ini terkait dengan kewajiban pembayaran dana kompensasi oleh perusahaan IUPHHK (HPH) yang beroperasi di wilayah mereka sesuai dengan keputusan Gubernur Kalimantan Timur No. 20 tahun 2000.

Tahun 2001, selama kurang lebih dua bulan, masyarakat Long Tuyoq melakukan unjuk rasa terhadap PT. Kemakmuran Berkah Timber, menuntut pembagian hasil atau pemberian dana kompensasi atas hasil hutan kayu yang diproduksi perusahaan di wilayah klaim mereka.   Setelah melakukan negosiasi, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa perusahaan wajib merealisasikan dana kompensasi kepada masyarakat atas produksi kayu bulat yang berada di wilayah klaim mereka. Selain itu, UM juga akan memberikan bantuan kepada masyarakat, seperti penerangan kampung, sarana air bersih, dan kegiatan sosial lainnya.

Pada tahun 2003, kembali terjadi konflik antara masyarakat Kampung Long Tuyoq dengan Batoq Kelo. Konflik kali ini terkait dengan hasil hutan kayu yang telah ditebang oleh perusahaan bekerja sama dengan “Koperasi Long Tuyoq”, dimana menurut warga Batoq Kelo, kayu  tersebut  berasal dari hutan yang masuk dalam wilayah kampung mereka.

Masyarakat Long Tuyoq memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Liu Mulang, Datah Naha, dan Long Kuling. Menurut penuturan para tetua kampung, lokasi kampung dan wilayah Kampung Liu Mulang semula adalah wilayah Kampung Long Tuyoq yang diberikan kepada Liu Mulang.

Kampung Long Pahangai I  dan Long Pahangai II

Kampung Long Pahangai telah terbentuk pada awal dasawarsa 1900-an, yakni sekitar tahun 1906. Penduduk generasi pertama Kampung ini adalah rombongan beberapa keluarga Busang Umaq Suling yang berasal dari Kampung Long Isun di hulu Sungai Meraseh. Ketika pertama kali bermukim di kampung ini, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme, sebelum kemudian datang misionaris untuk menyebarkan agama Katholik sekitar tahun 1926. Selain menyebarkan agama, para minionaris juga membantu pendidikan masyarakat dengan mendirikan sekolah rakyat yang merupakan salah satu sekolah tertua di daerah hulu riam Mahakam.

Long_Pahangai

Gambar 2. Sekolah Dasar Negeri Long Pahangai

Karena letaknya yang strategis dibandingkan dengan kampung-kampung lain di hulu Mahakam, Long Pahangai sejak dahulu menjadi pusat perekonomian lokal bagi masyarakat yang berada di wilayah ini. Kampung Long Pahangai terletak di tepi  Sungai Mahakam, di atas Riam Panjang, dekat dengan beberapa anak sungai Mahakam yang menjadi jalur dan pusat kegiatan ekonomi masyarakat di daerah hulu Mahakam, antara lain Sungai Meraseh, Sungai Tepai, Sungai Danum Musan dan Sungai Danum Pare.

Pada kurun waktu tahun 1930 hingga tahun 1940 masuk sekelompok pendatang dari Kalimantan Tengah yang berprofesi sebagai pedagang dan menganut agama Islam. Para pendatang ini kemudian memutuskan menetap di Long Pahangai dan berbaur dengan penduduk asli yang sebagian telah menganut agama Katholik dan sebagian lagi masih memegang kepercayaan animisme. Sejak saat itu terjadi akulturasi di masyarakat. Perkembangan selanjutnya sebagian kecil penduduk (asli) tertarik memeluk agama Islam, sementara penganut agama Katholik juga semakin berkembang. Hal sebaliknya terjadi pada penganut kepercayaan animisme yang semakin lama semakin berkurang. Sejak akhir tahun 1950-an dapat dikatakan tidak ada lagi penduduk yang masih menganut paham animisme.

Dalam perkembangan selanjutnya para pendatang semakin banyak dan bukan hanya dari Kalimantan Tengah, tetapi juga berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, Flores, Lombok, Kutai dan Sumatera Utara. Sejak awal bermukim hingga tahun 1960-an penduduk masih tinggal di rumah panjang. Setiap rumah diisi oleh 20 - 30 kepala keluarga atau KK. Himbauan pemerintah berhasil membujuk penduduk agar bertempat tinggal terpisah. Sejak saat itu penduduk mulai membangun rumah sendiri dan hidup secara soliter.

Long_Pahangai1

Gambar 3. Lapangan Olah Raga dan Gudang yang Digunakan untuk Gedung Serba Guna di Long Pahangai I

Pada tahun 1960-an, Long Pahangai ditetapkan menjadi desa definitif dan kemudian menjadi ibukota Kecamatan Long Pahangai, kecamatan paling hulu di Sungai Mahakam pada waktu itu. Pada tahun 1963, Kecamatan Long Pahangai dimekarkan menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Long Pahangai di wilayah hilir dan Kecamatan Long Apari di wilayah hulu. Pada tahun 1970-an di kalangan masyarakat muncul istilah Long Pahangai A dan Long Pahangai B, dimana Long Pahangai A merupakan komunitas pendatang (“Aluq” atau “Asing”), sedangkan Long Pahangai B merupakan penduduk asli (“Bahau”). Istilah ini berkembang subur di masyarakat serta menimbulkan dampak negatif, saling curiga antar warga pada masing-masing komunitas. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sejak tahun 1979 - 1980  istilah ini dihapus dan diganti menjadi Long Pahangai I sebagai ganti Long Pahangai B dan Long Pahangai II menjadi pengganti istilah Long Pahangai A.

Selain menyebarkan agama Katholik, para misionaris juga mengembangkan sekolah umum, yakni Sekolah Rakyat (tahun 1926). Tahun 1965 sekolah rakyat ini oleh pemerintah atas kesepakatan dengan masyarakat dijadikan SD Negeri. Bersamaan dengan peningkatan status SD dan kebutuhan pelajar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka didirikanlah SMP swasta (Yayasan Katholik). Sepuluh tahun kemudian (1975) SMP ini diubah menjadi SMP Negeri. Pada Tahun 2000 didirikan SMA swasta dan sempat melaksanakan kegiatan belajar mengajar selama beberapa tahun, sebelum akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 2008. Pada tahun 2010, sekolah tersebut diaktifkan lagi dan bahkan dijadikan SMA Negeri. Selain itu pada tahun 2010, di Kecamatan Long Pahangai juga diselenggarakan atau dibuka perkuliahan kelas jauh dari Universitas Tri Darma (UNTRI) Balikpapan.

Pada tahun 1970-an dibangun Masjid yang lokasinya terletak di pinggir sungai. Karena diterjang banjir besar, masjid tersebut hancur. Sebagai gantinya pada tahun 1982 dibangun masjid baru yang lokasinya lebih menjorok ke darat, yang  masih digunakan  hingga saat ini. Untuk meningkatkan pelayanan kepada pemeluk agama Katholik yang jumlahnya semakin banyak, pada tahun 1991 dibangun gereja baru yang lebih besar dan lengkap dengan fasilitas pendukungnya, dan mulai digunakan pada tahun 1992.

Kampung Long Pahangai I dan Long Pahangai II beberapa kali dilanda banjir. Peristiwa banjir besar yang masih diingat penduduk terjadi pada tahun 1940-an. Banjir tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Banjir Jepang”, karena terjadi ketika pasukan jepang berada di kampung. Pada saat itu masyarakat yang masih tinggal di rumah panjang atau lamin terpaksa mengungsi ke gunung.

Pada tahun 1992 dilakukan pembagian wilayah Long Pahangai I dan Long Pahangai II, dalam hal ini Kampung Long Pahangai mendapatkan wilayah di tepi Sungai Mahakam di seberang kampung yang sekarang ini ditempati. Setelah diadakan pembagian wilayah, aparat Kampung Long Pahangai II mulai berbenah diri dan mulai merencanakan lokasi pemukiman yang baru. Sejak tahun 2008, dengan menggunakan anggaran dari Alokasi Dana Kampung (ADK), dibangun kantor satu atap untuk tempat kerja petinggi, BPK, dan Lembaga Adat. Selain itu, dibangun pula gedung Balai Pertemuan Umum (BPU).

Kampung Long Isun

Long_Isun

Gambar 4. Pemukiman (resettlement) Datah Suling yang Tertata Rapi

Long Isun dijadikan nama kampung, karena kelompok pertama nenek moyang penduduk bermukim di muara Sungai Isun, salah satu anak Sungai Meraseh. Sungai Meraseh sendiri  merupakan anak Sungai Mahakam. Long Isun berasal dari Bahasa Bahau yang terdiri dari kata Long yang berasal dari kata “Lung” yang artinya muara sungai dan “Isun” yang berarti embun. Anak Sungai Meraseh tersebut diberi nama Isun karena di sekitar sungai tersebut selalu muncul asap (tepatnya uap) atau embun.

Penduduk Long Isun mayoritas etnis Bahau Umaq Suling, dan merupakan cikal bakal penduduk asli Kampung Long Pahangai I dan Naha Aruq. Etnis ini merupakan satu rumpun dengan penduduk Long Pahangai I dan Naha Aruq. Pada sekitar tahun 1990, pemerintah menghimbau agar masyarakat yang bermukim di perkampungan di hulu anak Sungai Mahakam yang sulit dijangkau segera pindah ke tepi Sungai Mahakam agar lebih mudah mendapatkan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Masyarakat di Kampung Long Isun, dan beberapa kampung lain, yakni Naha Aruq, Lirung Ubing dan Datah Naha, menyambut himbauan ini dengan memindahkan kampung ke lokasi resettlement penduduk di dekat muara Sungai Meraseh yang sering disebut Datah Suling. Proses perpindahan kampung Long Isun berlangsung selama dua tahun, yakni sekitar tahun 1991-1993.

Pemukiman empat kampung resettlement terletak bersebelahan, yakni paling hilir Long Isun, kemudian Naha Aruq, Lirung Ubing, dan berselang kurang lebih 1 km ke arah hulu adalah kampung Datah Naha yang dipisahkan oleh “lembo” (kebun campuran). Bersamaan dengan program resettlement tersebut dibangun Sekolah Dasar serta gereja yang diperuntukkan bagi keempat kampung. Pemukiman di komplek Datah Suling ditata cukup rapi. Untuk mendirikan rumah di lokasi resettlement pemerintah membantu menyiapkan areal dan memberikan bantuan uang Rp.500.000,00/KK. PT. Kemakmuran Berkah Timber turut berpartisipasi dalam proses pembangunan pemukiman dan sebagian rumah penduduk di lokasi resetlement ini, antara lain dalam bentuk kayu untuk bahan pembuatan rumah. Seiring dengan perpindahan penduduk ke lokasi resettlement, maka sekolah di kampung lama (Sekolah Swasta) dipindahkan pula ke kampung baru pada tahun 1993. Di kemudian hari, yakni pada tahun 1999 sekolah tersebut dijadikan SD Negeri Long Isun yang digunakan bersama untuk empat kampung.

Salah satu persoalan yang hingga saat ini dirasakan oleh penduduk di lokasi resettlement adalah mengenai status tanah di lokasi resettlement empat kampung tersebut, yakni  berasal dari lahan milik masyarakat Long Pahangai II yang dihibahkan kepada masyarakat Long Isun, Naha Aruq, Lirung Ubing, dan Datah Naha. Akan tetapi, pengalihan hak tersebut hanya secara lisan, tidak disertai dengan perjanjian tertulis. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat yang bermukim di resettlementtersebut, karena belum terdapat kepastian secara hukum mengenai kepemilikan kampung mereka. Selain itu, lokasi pemukiman saat ini relatif jauh dari lokasi ladang dan kebun serta tempat berburu yang berada di sekitar kampung lama, mengingat lahan yang berada di sekitar kampung saat ini sudah merupakan lahan milik kampung lain. Dari kampung baru ke lokasi ladang dan kebun di sekitar kampung lama memerlukan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan perahu motor (ces). Oleh karena itu, dapat dipahami jika sebagian penduduk Long Isun, yang berjumlah sekitar 23 KK,  masih bertahan di kampung lama.

Kampung Naha Aruq

Naha Aruq berasal dari Bahasa Bahau, yaitu “Naha” yang berarti karangan sedangkan “Aruq”artinyapanjang. Karangan panjang ini terdapat di Sungai Meraseh, anak Sungai Mahakam, tempat asal penduduk sebelum menempati lokasi resettlement seperti sekarang ini. Karena selalu melihat dan sering melakukan aktivitas mencari ikan di lokasi karangan, maka para tetua penduduk mengabadikannya menjadi nama kampung. Kampung asal penduduk berada di Sungai Meraseh yang terletak di hilir kampung yang sekarang. Kampung asal tersebut berada pada daerah aliran Sungai (Meraseh) yang sama dengan kampung Long Isun Lama.

Naha_Aruq

Gambar 5. Gereja Katholik di Pemukiman Datah Suling

Sebagaimana disebutkan pada sejarah Kampung Long Isun, penduduk Naha Aruq mulai pindah ke resettlement Datah Suling mulai tahun 1991, bersebelahan dengan Long Isun di sebelah hilir, Lirung Ubing di sebelah hulu, dan Datah Naha paling hulu. Batas antar tiga kampung paling hilir, yakni Long Isun - Naha Aruq - Lirung Ubing ditandai dengan jalan semenisasi selebar 2 meter arah utara selatan, sedangkan antara Lirung Ubing - Datah Naha dibatasi bekas kebun-kebun lama (lembo) sekitar 1 km.

Pada saat pindah dari kampung lama ke lokasi resettlement,tiap kampung yang telah memiliki bangunan gereja sederhana di kampung asal, secara bertahap juga membangun gereja sederhana di lokasi baru. Pada tahun 2003 dibangun gereja Katholik yang cukup besar dan megah untuk melayani umat Katholik di empat kampung. Sementara itu Puskesmas Pembantu (Pusban) baru dibangun tahun 2010 dan sampai saat ini (Januari 2011) belum difungsikan. Sekolah, gereja, dan puskesmas pembantu dibangun di belakang pemukiman kampung Naha Aruq. Sementara itu, sarana umum yang lain, seperti kantor pemerintahan kampung (kantor satu atap), lamin adat dan dermaga dibangun pada masing-masing kampung.

 

Kampung Lirung Ubing

Nama kampung diambil dari lokasi tempat tinggal, yaitu “Lirung” berarti teluk, sedangkan  “Ubing” adalah nama burung yang sering terlihat oleh penduduk di sekitar teluk tersebut.  Teluk yang dimaksud adalah sungai yang menjorok ke darat terletak  di hilir  kampung lama. Menurut sejarah, sebelum menempati lokasi Lirung Ubing Lama, kelompok pemukiman ini  menetap di Napoq Liu Busang. Pada zaman kemerdekaan pindah ke Datah Lingai (di sebelah hilir), menetap beberapa lama sambil membuka ladang, kemudian pindah lagi lebih ke hilir yakni Lirung Ubing lama. Di daerah ini masyarakat sudah lebih mapan, baik dari segi kelengkapan aparat kampung maupun kelengkapan lainnya. Selain itu, juga terdapat penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar. Lokasi ladang dan kebun sebagian besar berada di sekitar kampung lama, antara lain di kiri-kanan Danum Paray atau Sungai Paray, anak Sungai Mahakam.

Masyarakat Lirung Ubing juga mengklaim daerah seberang kampung yang terletak antara wilayah Datah Naha (lama) dengan Long Lunuk merupakan wilayahnya. Namun menurut masyarakat Long Lunuk, termasuk Kepala Adat, wilayah tersebut merupakan milik Kampung Long Lunuk, karena merekalah yang lebih dahulu menggarap lahan di daerah tersebut. Hingga saat ini belum terdapat kesepakatan antara kedua kampung perihal klaim lahan tersebut.

Sebagaimaan masyarakat Kampung Long Isun, Naha Aruq dan Datah Naha, masyarakat Lirung Ubing sekitar tahun 1991 - 1992  mengikuti program resettlement ke Datah Suling, lokasi kampung saat ini. Sebelum pindah dibentuk panitia untuk mempersiapkan tempat tinggal baru bagi masyarakat. Pada saat itu pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk  rumah induk dengan ukuran 5 x 7 meter persegi, sedangkan dapur dibangun oleh masing-masing keluarga. Tidak semua warga mendapat bantuan. Keluarga yang pindah belakangan tidak memperoleh bantuan dari pemerintah, meskipun telah dijanjikan, namun realisasinya tidak ada.

Pada tahun 2001 - 2003 masyarakat membangun lamin adat serta mengaktifkan posyandu dan membangun jalan pemukiman (semenisasi). Selanjutnya pada tahun 2007 - 2008 dibangun dermaga, 2009 - 2010 dibangun kantor kampung satu atap, dengan biaya ADK, dan tahun 2010 dibangun jembatan yang menghubungkan RT 2 dengan RT 3. Karena kantor pembangunan kampung belum selesai, maka akan dilanjutkan tahun 2011 dengan sumber dana yang sama.

Kampung Datah Naha

Datah Naha merupakan gabungan kata dalam Bahasa Bahau, yakni “Datah” yang berarti dataran dan “Naha” yang berarti karangan atau kumpulan batu yang menyerupai pulau dan terdapat di sungai. Kampung yang ditempati sekarang adalah kampung resettlement penduduk, sebagaimana Long Isun, Naha Aruq, dan Lirung Ubing. Masyarakat Datah Naha pindah dari kampung lama ke lokasi kampung ini secara bertahap mulai tahun 1991/1992 sampai tahun 1995. Pada tahun 1997 gereja di kampung lama dipindah ke kampung baru. Kampung Data Naha yang baru sering pula disebut dengan Datah Naha Maring atau Datah Maring, dimana dalam Bahasa Bahau, “maring” berarti baru.

Pada awalnya pemukiman penduduk terletak di sebelah hulu dari lokasi kampung sekarang, yakni sekitar 30 menit perjalanan dengan perahu motor (ces), dan posisinya berada di kiri mudik Sungai Mahakam. Perpindahan ke lokasi pemukiman yang baru disebabkan mengikuti himbauan pemerintah, yang beralasan agar masyarakat lebih mudah terlayani dan kampung lebih tertata. Pada awalnya tidak semua penduduk mau pindah, sebagian tetap bertahan di kampung lama, namun lama-kelamaan karena sarana dan prasarana kampung turut dipindahkan ke kampung baru, terutama sekolah, penduduk yang tadinya enggan pindah terpaksa mengikuti rombongan yang lebih besar. Pada saat ini masih terdapat sekitar 7 KK, yakni orang-orang tua, yang tidak mau meninggalkan kampung lama.

Saat ini masyarakat mendiami areal pemukiman seluas kurang lebih 3 Ha. Rumah penduduk sebagian besar menghadap Sungai Mahakam memanjang dari hilir ke hulu mengikuti alur sungai. Di depan rumah dibuat jalan semen selebar sekitar 2 meter sepanjang kampung, mulai dari jembatan yang memisahkannya dari Kampung Lirung Ubing hingga tepi Sungai Yani yang berada di sebelah hulu kampung. Di seberang Sungai Yani terdapat tiga buah rumah milik 3 KK. Meskipun pusat kampung telah pindah ke kampung baru, namun ladang dan kebun penduduk  tetap berada di wilayah kampung lama, karena di kampung baru pemerintah hanya menyediakan areal untuk pemukiman seluas sekitar 3 Ha. Untuk menuju ladang dan kebun, penduduk menggunakan perahu ketinting yang merupakan alat transportasi utama dan dimiliki oleh hampir semua keluarga.

Kampung Long Lunuk dan Long Lunuk Baru

Long Lunuk berasal dari kata “Lung” yang berarti muara sungai dan “Lunuk” yang berarti beringin. Karena sering terjadi kesalahan penyebutan dan penulisan Lung menjadi Long, maka lambat laun kata yang lebih banyak digunakan adalah Long. Sebelum menggunakan  Long Lunuk sebagai nama kampung, pemukiman ini dikenal dengan sebutan Datah Dawai yang berasal dari kata “Datah” yang berarti dataran atau hamparan dan”Dawe” yakni nama pohon buah hutan yang dapat dimakan, yang kemudian berubah menjadi Dawai. Nama Datah Dawai hingga saat ini masih digunakan, antara lain sebagai nama lokasi lapangan terbang di Long Lunuk yang disebut Lapangan Terbang Datah Dawai.

Long_Lunuk

       

Gambar 6. Landasan Pesawat di Lapangan Terbang Datah

                Dawai, Long Lunuk

Kelompok pertama yang membentuk Kampung Long Lunuk terdiri dari 5 sub suku, yakni  Bengkelau, Umaq Uru, Long Gelaat, Umaq Tuan dan Umaq Sam. Mereka bermukim di lokasi ini pada sekitar tahun 1960, dimana sebelumnya mereka bermukim di Datah Ringin. Kampung Long Lunuk banyak dikunjungi pendatang dari luar daerah, antara lain karena kampung ini menjadi tempat transit bagi para pengusaha dan pekerja sarang burung walet yang beroperasi di daerah Long Apari. Alasan lain karena di kampung ini terdapat lapangan terbang Datah Dawai, yang merupakan lapangan terbang perintis, yang lokasinya berada  paling hulu di jalur Sungai Mahakam. Lapangan terbang Datah Dawai melayani penerbangan ke dan dari Melak, Samarinda, dan Balikpapan, menggunakan pesawat ringan jenis Cesna.

Penerbangan jalur ini disubsidi oleh pemerintah daerah, sehingga biaya transportasi jauh lebih murah dibandingkan menggunakan angkutan air (speed boat/long boat). Harga tiket Long Lunuk - Samarinda, misalnya, hanya Rp. 200.000,00. Karena faktor keberadaan lapangan tebang ini, maka Long Lunuk berkembang menjadi kampung yang relatif lebih ramai dibandingkan dengan kampung lain di wilayah ini. Di kampung ini terdapat penginapan dan beberapa toko serta warung.

Pada 20 Desember 2009, Kampung Long Lunuk dimekarkan menjadi Long Lunuk dan Long Lunuk Baru. Surat Keputusan (SK) Penetapan Kampung Long Lunuk Baru definitif pada bulan Mei 2010, pelantikan pengurus BPK pada bulan Januari 2010 dan pemilihan petinggi pada bulan Februari 2010. Selain itu, pada tahun 2004 di Long Lunuk didirikan lembaga kuangan rakyat, yakni Credit Union Daya Lestari, yang melayani kegiatan simpan pinjam kepada masyarakat yang menjadi anggota. Lembaga ini cukup berkembang, dimana  anggotanya telah tersebar hampir di semua kampung di Kecamatan Long Pahangai.

Sumber: Laporan Kajian Sosial PT KBT (2011)

Web Tools